facebook

Sabtu, 23 April 2011

Bab 11 Neraca Pembayaran, Arus Modal Asing, dan Utang Luar Negeri

A. PENDAHULUAN
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1988 menggariskan bahwa kebijaksanaan pembangunan diarahkan untuk selalu bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yakni pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional. Kebijaksanaan neraca pembayaran sebagai bagian dari kebijaksanaan pembangunan selalu mengacu pada Trilogi Pembangunan tersebut secara serasi. Di samping itu juga diusahakan tercapainya perubahanfundamental dalam struktur produksi dan perdagangan luar negeri sehingga dapat meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap guncangan-guncangan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Di bidang perdagangan, melalui deregulasi dan debirokrati-sasi, kebijaksanaan ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri dalam negeri, menunjang pengembanganekspor non migas, memelihara kestabilan harga dan penyediaan barang yang dibutuhkan di dalam negeri, serta menunjang iklim usaha yang makin menarik bagi penanaman modal. Kebijaksanaan neraca pambayaran lainnya juga dilanjutkan, antara lain dalam bentuk pengelolaan hutang dan pinjaman luar negeri secara cermat dan hati-hati, terpeliharanya kurs valuta asing yang mantap dan realistis, serta terpeliharanya cadangan devisa yang memadai.

B. PERKEMBANGAN INTERNASIONAL
Kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri selama empat tahun Repelita V sangat dipengaruhi oleh tantangan yang timbul dari perkembangan situasi politik, ekonomi dan moneter dunia.
Selama dasawarsa 1980-an, perekonomian dunia mencapai rekor pertumbuhan tertinggi pada tahun 1988, yaitu sebesar 4,6%. Setelah itu, perekonomian dunia mengalami kemerosotan hingga mencapai 0,6% pada tahun 1991. Namun dalam tahun 1992 perekonomian dunia mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan pertumbuhan sebesar 1,8 % . Dalam tahun 1992, negara-negara industri dan negara-negara berkembang masing - masing tumbuh sebesar 1,5 % dan 6, 1 %. Ini merupakan suatu perbaikan dari tahun 1991 sewaktu kelompok-kelompok negara ini, mencapai pertumbuhan masing-masing sebesar 0,6% dan 4,2%. Di antara negara-negara berkembang tersebut, kelompok negara di Asia dapat mempertahankan laju pertumbuhan ekonominya yang cukup tinggi, bahkan mengalami peningkatan pertumbuhan dari 5,8% menjadi 7,9 % . Peningkatan cukup besar ini juga diikuti oleh negara-negara berkembang di Timur Tengah yang pertumbuhannya meningkat dari 2,1 % pada tahun 1991 menjadi 9,9% pada tahun 1992. Sementara itu, negara-negara di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet terus mengalami kemerosotan yang makin parah dalam produksi nasionalnya. Pada tahun 19.91 kelompok negara-negara ini ekonominya mengalami penurunan sebesar 10,1 % dan pada tahun 1992 mengalami penurunan yang lebih besar lagi, yaitu 15,5% . Perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang Eropa Timur dan negara-negara bekas Uni Soviet perlu terus diamati mengingat di masa depan kelompok negara ini akan menjadi sainganyang cukup berat bagi negara-negara berkembang, apabila mereka telah selesai dengan tahap konsolidasinya dan ekonominya tumbuh kembali.
Seiring dengan peningkatan produksi dunia, laju pertumbuhan perdagangan internasional juga mengalami peningkatan dari 2,3% dalam tahun 1991 menjadi 4,2% dalam tahun 1992. Volume ekspor dan impor negara-negara industri dalam tahun 1992 meningkatmasing-masing sebesar 3,2% dan 4,0%, begitu pula volume ekspor dan impor negara-negara berkembang yang meningkat menjadi 8,4% dan 10,2% dalam tahun 1992.
Sementara itu harga minyak bumi di pasaran internasional mengalami penurunan sebesar 0,5 % selama tahun 1992. Namun demikian, penurunan ini tidak sebesar penurunan yang terjadi pada tahun 1991 yaitu sebesar 17,0%. Begitu pula harga komoditi primer lainnya seperti kopi, karet, dan hasil-hasil tambang merosot dengan 0,1% pada tahun 1992. Perkembangan ini menyebabkan turunnya nilai tukar perdagangan untuk negara-negara berkembang. Dalam tahun tersebut nilai tukar perdagangan menurun sebesar 1,4% untuk negara-negara berkembang, sedangkan untuk negara-negara industri justru meningkat sebesar 1,8%.
Secara keseluruhan dalam tahun 1992 negara-negara industri mengalami kenaikan dalam defisit transaksi berjalan menjadi US$ 38,5 miliar. Untuk negara - negara berkembang defisit transaksi berjalan sedikit menurun dari US$ 81,9 miliar pada tahun 1991 menjadi US$ 78,4 miliar pada tahun 1992.Berakhirnya perang dingin, restrukturisasi sistem ekonomi dan politik nasional di berbagai negara serta proses regionalisasi merupakan peristiwa-peristiwa penting yang dampaknya pada tatanan ekonomi dunia baru masih belum jelas dan perlu terus diamati. Perkembangan yang cukup penting adalah penyatuan Masyarakat Ekonomi Eropa yang dicanangkan pada pertemuan puncak Maastricht di bulan Desember 1991. Pertemuan puncak ter sebut diadakan dalam rangka melicinkan jalan pembentukan Masyarakat Eropa ke dalam satu unit politik, ekonomi dan moneter (EMU) yang direncanakan terbentuk pada tahun 1999. Tujuan utama pembentukan Masyarakat Eropa adalah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi yang harmonis dan berkelanjutan dengan menciptakan suatu kawasan tanpa batas internal serta terciptanya suatu unit ekonomi dan moneter dengan menggunakan satu mata uang.
Seiring dengan itu, dalam bulan Agustus 1992 ditandatanganiPersetujuan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) oleh negara-negara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, yang akan menjadi efektif pada Januari 1994. Tujuan pembentukan NAFTA tersebut antara lain adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja melalui usaha menghilangkan berbagai hambatan perdagangan, menciptakan iklim untukmendorong persaingan yang adil, meningkatkan peluang investasi, memberikan perlindungan terhadap hak milik intelektual, dan menciptakan prosedur yang efektif dalam penyelesaian perselisihan perdagangan antara ketiga negara anggotanya.
Dalam pada itu, perundingan perdagangan multilateral dalam kerangka Putaran Uruguay pada tahun 1992 masih tetap mengalami hambatan. Belum terdapatnya kesepakatan mengenai perdagangan hasil-hasil pertanian antara Amerika Serikat, Masyarakat Ekonomi Eropa dan Jepang merupakan penyebab utama kemacetan perundingan tersebut.
Terhambatnya kesepakatan GATT inimempengaruhi prospek terciptanya perdagangan dunia yang terbuka,transparan dan mempunyai aturan disiplin yang efektif.
Sejalan dengan itu, berbagai upaya terus dilakukan dalam rangka penyesuaian tujuan dan organisasi berbagai forum kerja sama internasional, termasuk UNCTAD dan Gerakan Non Blok. Pad bulan September 1992, di Jakarta diadakan Konperensi Tingkat Tinggi Ke-10 Gerakan Non Blok. Melalui Pesan Jakarta, gerakan tersebut menyerukan agar dilakukan demokratisasi dalam hubungan antar negara dan dihidupkan kembali dialog Utara-Selatan secara konstruktif.
Sementara itu, kerja sama antara negara-negara anggota ASEAN terus dikembangkan. Terdorong oleh berbagai perubahan struktural dalam perekonomian dunia dan untuk menghadapi kejadian semakin meluasnya blok-blok perdagangan dengan kecenderungan ke arah proteksionisme, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN pada tahun 1991 sepakat untuk mempercepat langkah-langkah kerja sama ke arah integrasi ekonomi. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1992 disetujui Perjanjian mengenai Tarif Preferensial Efektif Seragam (CEPT) menuju Wilayah Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA), yang efektif mulai berlaku tanggal 1 Januari 1993.

C. PERKEMBANGAN NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri
Selama empat tahun pelaksanaan Repelita V, berbagai kebijaksanaan di bidang perdagangan dan keuangan luar negeri telah diambil dengan tujuan untuk mempertahankan momentum pembangunan nasional, antara lain kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi.
Dalam tahun 1992/93, langkah-langkah deregulasi yang ditempuh antara lain berupa penyederhanaan tata niaga ekspor dan impor melalui pengenaan pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan, penurunan dan penghapusan bea masuk dan bea masuk tambahan komoditi tertentu, peninjauan kembali Daftar Negatif Investasi (DNI), dan penyederhanaan tata cara penanaman modal.
Di bidang ekspor, melalui Paket 27 Mei 1992, larangan ekspor beberapa komoditi seperti kayu bulat/log dalam bentuk ter tentu, kayu ramin, serta meranti putih dan agathis bentuk tertentu, telah diganti dengan pengenaan Pajak Ekspor (PE) dan atau Pajak Ekspor Tambahan (PET). Sedangkan kulit mentah jenis tertentu yang sebelumnya dikenakan pajak ekspor secara persentase diganti dengan pajak ekspor yang dihitung secara spesifik. Selain itu, ketentuanlarangan ekspor rotan juga mengalami penyederhanaan. Mulai Juni 1992, larangan ekspor rotan dalam bentuk bahan mentah dan barang setengah jadi diganti dengan pengenaan pajak ekspor dan atau pajak ekspor tambahan.
Untuk memperlancar arus barang dalam rangka menunjang kegiatan ekonomi, mulai bulan Juli 1992 PT Sucofindo ditunjuk sebagai pemeriksabarang eskpor dan barang yang dimasukkan/dikeluarkan ke dan dari kawasan berikat di seluruh Indonesia. Di samping itu, dilakukan pula penyempurnaan tata cara penyampaian laporan realisasi ekspor dan tata cara pemberian fasilitas ekspor oleh Badan Pelayanan Kemudahan Ekspor danPengolahan Data Keuangan (Bapeksta Keuangan). Dalam pada itu, terhitung mulai bulan Oktober 1992 produsen pengekspor barang tidak perlu membuat Laporan Keterkaitan (LK), yang merupakan laporan pemakaian barang dan bahan impor untuk memproduksi komoditi ekspor, guna memperoleh pembebasan dan pengembalian bea masuk ataupun pungutan lainnya. Sejak waktu itu, Laporan Keterkaitan (LK) diganti menjadi Laporan Pemakaian Bahan (LPB) yang diterbitkan oleh surveyor yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Tata niaga ekspor kayu (maniok) ke negara-negara Masyarakat Eropa (ME) juga diatur kembali. Mulai bulan Oktober 1992 kuota ekspor maniok untuk tahun 1993 ke negara-negara ME dibagikan secara proporsional ke masing-masing eksportir berdasarkan kinerja sebelumnya dan atau kemampuan eksportir untuk mengekspor maniok ke negara-negara di luar ME yang dibuktikan dengan "Landing Certificate" yang dikeluarkan oleh instansi Bea dan Cukai di pelabuhan negara tujuan dan "Loading Certificate" yang
dikeluarkan oleh PT Sucofindo. Pengaturan kembali tata niaga ini dilakukan untuk lebih meringankan persyaratan bagi eksportir dalam mengekspor maniok ke nagara-negara ME . Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan ekspor non migas, perluasan pasaran ekspor terus digalakkan. Dalam tahun 1992/93 dilaksanakan pengiriman berbagai misi dagang ke luar negeri, pameran-pameran dagang di luar negeri serta kegiatan promosi untuk menarik importir luar negeri berkunjung ke Indonesia. Khusus dalam usaha pemasaran barang kerajinan, pada bulan Juli 1992 Indonesia mengikuti pameran California Gift Show di Amerika Serikat.
Selain itu, untuk menjaga kesinambungan dan memperluas akses produk ekspor, peran aktif Indonesia di berbagai forum interna-sional, baik hubungan bilateral, regional dan multilateral terus ditingkatkan. Dalam kaitan ini, Indonesia berpartisipasi aktif dalam negosiasi Putaran Uruguay (GATT), Konperensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD), kerja sama ekonomi ASEAN dan berbagai forum kerja sama internasional seperti Organisasi KopiInternasional (ICO), Asosiasi Negara-negara Penghasil Karet Alam (ANRPC), Asosiasi Negara Produsen Timah (ATPC), dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Khusus mengenai timah, untuk menjaga kestabilan harga timah di pasaran dunia, negara-negara anggota ATPC dalam sidangnya di Jakarta pada bulan September 1992 telah sepakat membatasi ekspor timah selama tahun 1993 menjadi 2,7% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu menjadi 89.400 ton. Dalam kaitan itu, Indonesia memperoleh jatah kuota ekspor timah sebesar 30.500 ton selama tahun 1993, atau naik 9,0% dibanding kuota tahun 1992.
Dalam pertemuan puncak di Singapura pada bulan Januari 1992, negara-negara ASEAN sepakat untuk lebih mengintegrasikan ekonomi ASEAN yang dijabarkan dalam bentuk Kerangka Perjanjian untuk Meningkatkan Kerja Sama Ekonomi ASEAN (Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation). Program ini ditujukan untuk mewujudkan integrasi yang diawali dengan kese-pakatan untuk secara bertahap, yaitu mulai 1 Januari 1993 menerap-kan Tarif Preferensial Efektif •Seragam (CEPT) yang diarahkan pada pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA). Untuk itu, dalam tahun 1992 telah ditetapkan dua program penurunan tarif, yaitu program penurunan tarif yang dipercepat (Fast Track) dan program penurunan tarif normal (Normal Track). Program penurun-an tarif yang dipercepat meliputi 15 kelompok produk yang telah disepakati. Berdasarkan program tersebut, produk-produk tertentuyang tarifnya di atas 20% akan diturunkan menjadi 0-5% dalam waktu 10 tahun. Kemudian untuk komoditi yang mempunyai tarif lebih kecil atau sama dengan 20% akan dikurangi menjadi 0-5%dalam waktu 7 tahun. Sementara itu melalui program penurunan tarif normal, komoditi yang mempunyai tarif di bawah 20 % akan dikurangi hingga menjadi 0-5% dalam waktu 10 tahun. Komoditi yang bertarif di atas 20% akan dikurangi dalam dua tahap, yaitu tahap pertama menjadi 20% dalam waktu 5-8 tahun dan tahap kedua dikurangi lagi menjadi 0-5 % dalam waktu 7 tahun berikutnya.
Sebagai kelanjutan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan deregu-lasi sebelumnya, Pemerintah mengeluarkan Paket 6 Juli 1992 guna membebaskan dan melonggarkan tata niaga. beberapa komoditi impor, menyempurnakan mekanisme bea masuk dan bea masuk tambahan terhadap komoditi tertentu,serta menyederhanakan tata niaga impor mesin, peralatan dan barang modal bekas pakai.
Untuk lebih memperlancar arus barang dan pengadaan bahan baku, bahanpenolong dan sarana usaha, sebanyak 241 pos tarif yang terdiri dari 12 pos tarif produk pertanian, 226 pos tarif produk batik dan 3 pos tarif produk industri dibebaskan dari tata niaga impor. Sementara itu dari 464 pos tarif yang masih diatur tata niaganya, sebanyak 36 pos tarif untuk produk besi dan baja dilonggarkan.
Di samping itu, tingkat bea masuk dan bea masuk tambahan barang-barang impor disesuaikan. Untuk tingkat bea masuk, sebanyak 35 pos tarif dinaikkan, 44 pos tarif diturunkan dan 2 pos tarif diubah klasifikasinya. Sedangkan tingkat bea masuk tambahan sebanyak 80 pos tarif dinaikkan, 81 pos tarif diturunkan, dan sebanyak 184 pos tarif dihapuskan. Selanjutnya tata niaga, klasifikasitarif, tingkat bea masuk dan tingkat bea masuk tambahan barang-barang impor seperti karpet dan permadani, produk kimia dan tekstil tertentu, serta komponen/suku cadang untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat terbang disempurnakan kembali.
Untuk menumbuhkan usaha jasa industri baru dalam kemam-puan rekondisi mesin sekaligus mengurangi biaya investasi, impor mesin, peralatan dan barang modal bekas pakai dibebaskan. Dengan demikian mulai bulan Juli 1992 barang-barang tersebut, selama tidak tercantum dalam daftar negatif yang disusun olehDepartemen Per-industrian, dapat diimpor langsung oleh perusahaan pemakai ataupun oleh perusahaan rekondisi. Sedangkan pemeriksaan atas barang-barang impor tersebut dilakukan oleh PT Sucofindo dan PT SurveyorIndonesia.
Selanjutnya untuk meningkatkan tertib administrasi, peng-awasan dan pengamanan dokumen impor, pada bulan Pebruari 1993 bentuk dan isi dokumen Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD) disempurnakan. Terhitung 60 hari sejak dikeluarkannya kebijaksanaan tersebut, dokumen PIUD dapat dibedakan menjadi 8 jenis sesuai dengan jenis fasilitas impor yang diperoleh.
Di samping itu untuk menunjang penanaman modal, mening-katkan perdagangan dalam negeri dan luar negeri, serta untuk me-ningkatkan kegiatan ekonomi, pada bulan Pebruari 1993 diberla-kukan ketentuan khusus mengenai Entreport Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE), suatu tempat atau ruang di wilayah pabean Indone-sia untuk penyimpanan barang (warehousing) dan pengolahan barang. Mulai bulan tersebut, diberlakukan ketentuan-ketentuan khusus yaitu:
1. Bea Masuk (BM), Bea Masuk Tambahan (BMT), Cukai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PajakPenjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) terhadap barang yang dimasukkan dari luar daerahpabean ditangguhkan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) tidak dipungut; sedangkan
3. Untuk penyerahan dalam negeri penyelesaian pungutan-pungutan yang terhutang dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Perusahaan atau industri yang dapat ditetapkan sebagai EPTE adalah perusahaan yang berdomisili di luar ataupun di dalam Kawasan Industri di wilayah pabean Indonesia.

Khusus mengenai pinjaman luar negeri, pada bulan Maret 1992 Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk mem-bubarkan Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang dike-tuai oleh pemerintah Belanda. Sikap tegas tersebut menunjukkan bahwa Indonesia selalu berpegang teguh kepada pedoman bahwa pinjaman luar negeri tidak boleh disertai dengan ikatan politik,seba-gaimana ditetapkan dalam GBHN. Sebagai gantinya dibentuk Con-sultative Group for Indonesia (CGI) yang diketuai oleh Bank Dunia.
Di bidang jasa jasa, usaha untuk meningkatkan penerimaan devisa dan sekaligus menghemat penggunaannya terus dilanjutkan. Di antara jasa jasa, pariwisata merupakan sumber penerimaan devisa yang makin penting. Untuk itu Indonesia aktif berpartisipasi dalam forum kepariwisataan internasional seperti Tournament of Roses di Amerika Serikat, PATA 1992 di Taiwan, dan World Expo 1992 di Spanyol. Di tingkat nasional tahun 1991 telah ditetapkan sebagaiTahun Kunjungan Wisata Indonesia yang dilanjutkan dengan Tahun Kunjungan ASEAN 1992. Selanjutnya telah ditetapkan pula Dekade Kunjungan Indonesia tahun 1993 sampai tahun 2000. Di samping sektor pariwisata, terus diusahakan peningkatan penerimaan devisa di bidang jasa jasa baru seperti transfer penghasilan dari tenaga kerja Indonesia di luar negeri serta jasa perawatan dan bengkel pesawat terbang milik Garuda Indonesia.
Untuk mendorong penanaman modal swasta, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA), ketentuan-ketentuan mengenai penanaman modal disempurnakan lagi. Paket kebijaksanaan bulan Juli 1992 meliputi antara lain penyederhanaan Daftar Negatif Investasi (DNI), Pengaturan kembali tata cara penanaman modal, dan.penyempurnaan tentang pemanfaatan tanah hak guna usaha dan hak guna bangunan untuk usaha patungan dalam rangka penanaman modal asing. SeLanjutnya paket kebijaksanaan ini juga mengatur proses penyelesaian izin kerja bagi tenaga kerja, asing yang keahliannya belum sepenuhnya dapat diisi oleh tenaga Indonesia.

2. Perkembangan Neraca Pembayaran
Situasi neraca pembayaran selama empat tahun pelaksanaan Repelita V secara umum tetap terkendali dalam batas-batas yang wajar. Perkembangan neraca pembayaran tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekspor, impor dan arus modal luar negeri.
Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V nilai ekspor secara keseluruhan meningkat rata-rata sebesar 15,5% per tahun, dari US$ 19,8 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 35,3 miliar pada tahun 1992/93. Peningkatan pertumbuhan ini terutama berasal dari laju pertumbuhan ekspor non migas yang meningkat rata-rata 19,5% per tahun sehingga mencapai US$ 24,8 miliar pada tahun 1992/93. Namun peningkatan laju pertumbuhan ekspor non migas yang pesat ini tidak dibarengi dengan laju pertumbuhan ekspor minyak bumi dan gas alam cair. Selama kurun waktu tersebut, ekspor minyak bumi dan gas alam cair masing-masing hanya meningkat rata-rata sebesar 6,2% dan 11,8% per tahun, atau masing-masing menjadi sebesar US$ 6,4 miliar dan US$ 4,1 miliar pada tahun 1992/93.
Sementara itu, peranan ekspor non migas dalam nilai ekspor keseluruhan semakin mantap sehingga semakin mampu berperan sebagai sumber penerimaan devisa utama. Dalam tiga tahun terakhir ini, peranan ekspor non migas dalam nilai ekspor keseluruhan terus meningkat dari 54,6% pada tahun 1990/91 menjadi 64,0% pada tahun 1991/92 dan menjadi 70,3 % pada tahun 1992/93.
Tahun pelaksanaan Repelita V bervariasi -sejalan dengan kegiatan industri dan investasi di dalam negeri. Pada tahun 1992/93 nilai impor keseluruhan mencapai sebesar US$ 27,3 miliar, ataumeningkat rata-rata sebesar 17,5% per tahun sejak tahun 1988/89. Dalam dua tahun pertama pelaksanaan Repelita V, suhu perekonomian Indonesia meningkat dan hal ini antara lain tercermin dalam peningkatan impor barang, terutama impor bahan baku/ penolong dan barang modal, yang cukup besar. Nilai impor non migas dalam tahun 1989/90 naik dengan 21,3% dan naik lagi dengan 31,0% dalam tahun 1990/91. Dengan langkah-langkah penyejukan mesin perekonomian yang ditempuh waktu itu, laju pertumbuhan nilai impor non migas dalam dua tahun terakhir dapat diturunkan menjadi 11,4% pada tahun 1991/92 dan 9,7% pada tahun 1992/93.
Pengeluaran devisa neto untuk jasa jasa naik rata-rata sebesar 9,4% per tahun dari sebesar US$ 7,4 miliar pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 10,5 miliar pada tahun 1992/93. Kenaikan ini terutama berasal dari jasa jasa sektor non migas dan sektor gas alam cair yang masing-masing meningkat rata-rata sebesar 10,1 % dan 15,3 % per tahun. Dalam kurun waktu yang sama, penerimaan jasa jasa dari sektor pariwisata meningkat cukup pesat yaitu darisebesar US$ 1,4 miliar pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 3,3 miliar pada tahun 1992/93.
Perkembangan ekspor dan impor barang dan jasa tersebut di atas mengakibatkan besarnya defisit transaksi berjalan Indonesia dari tahun ke tahun bervariasi. Pada tahun 1988/89 defisit transaksi ber-jalan adalah sebesar US$ 1,9 miliar, dan karena peningkatan suhu perekonomian jumlah ini meningkat menjadi US$ 3,7 miliar pada tahun 1990/91 dan US$ 4,4 miliar pada tahun 1991/92. Selanjutnya defisit transaksi berjalan turun menjadi US$ 2,6 miliar pada tahun 1992/93.
Dalam 5 tahun terakhir, pinjaman di sektor Pemerintah turun dari US$ 6.588 juta pada tahun 1988/89 menjadi US$ 5.755 juta pada tahun 1992/93. Hal ini dimungkinkan oleh keberhasilan peningkatan ekspor non migas dan mobilisasi sumber-sumber dana dari dalam negeri. Pinjaman terbesar diperoleh dalam bentuk bantu-an proyek bersyarat lunak, di samping bentuk-bentuk pinjaman lain-nya dan bantuan program. Sementara itu, karena banyak pinjaman yang sudah jatuh waktu, pelunasan pfnjaman Pemerintah naik dari US$ 3,8 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 4,8 miliar pada tahun 1992/93.
Di sektor swasta, pemasukan modal (neto) sejak tahun 1988/89 menunjukkan peningkatan cukup cepat sampai dengan tahun 1990/91, kemudian melambat berkat adanya kebijaksanaan pengen-dalian moneter untuk mendinginkan suhu perekonomian. Di antara transaksi modal tersebut penanaman modal asing meningkat pesat dari US$ 878 juta dalam tahun 1988/89 menjadi hampir US$ 2,5 miliar dalam tahun 1992/93. Dalam tiga tahun terakhir modal lain-nya (neto) mengalami penurunan cukup besar yaitu dari US$ 3,6 miliar pada tahun 1990/91 menjadi sebesar US$ 1,3 miliar pada tahun 1992/93.
Semua perkembangan tersebut di atas telah menyebabkan cadangan devisa meningkat dari US$ 6.011 juta pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 11.981 juta pada akhir tahun 1992/93. Jumlah cadangan devisa ini cukup untuk membiayai impor (c & f) non migas selama 5,5 bulan.


D. EKSPOR
Seperti disebutkan di atas, perkembangan ekspor secara kese luruhan sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Seperti terlihat pada Tabel V-1, nilainya dalam tahun 1992/93 telah mencapai US$ 35,3 miliar, atau meningkat rata-rata sebesar 15,5% setiap tahunnya. Peningkat-an yang cukup tinggi tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan ekspor non migas dan ekspor gas (LNG dan LPG) sementara ekspor minyak bumi menunjukkan laju pertumbuhan yang melambat.
Sebesar 19,5% sehingga mencapai US$ 24,8 miliar pada tahun 1992/93. Laju pertumbuhan ekspor non migas yang cukup tinggi ini merupakan sukses tersendiri mengingat dalam periode yang sama perekonomian dunia masih ditandai oleh kelesuan. Adanya peningkatan yang relatif cepat tersebut tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan Iangkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi dalam mengefisienkan perekonomian, diversifikasi produk ekspor, dan usaha lainnya, sehingga dapat mendorong peningkatan daya saing ekspor non migas. Berbagai faktor yang mempengaruhi ekspor non migas, baik internal maupun eksternal, juga terus diikuti perkembangannya sekaligus diupayakan pemecahannya agar ekspor non migas dapat terus meningkat.
Selain langkah-langkah kebijakan tersebut di atas, dilanjutkan upaya peningkatan ekspor melalui cara imbal beli dengan beberapa negara, yang pada hakekatnya dimaksudkan untuk mengembangkan ekspor non migas, baik dalam bentuk peningkatan volume ekspor maupun dalam jumlah eksportir, jumlah negara tujuan ekspor, jenis komoditi ekspor dan transaksi ekspor lainnya, sehingga padagilirannya akan meningkatkan realisasi nilai ekspor non migas.
Perkembangan nilai ekspor non migas menunjukkan gambaran sebagai berikut.
Selama 4 tahun terakhir ini ekspor tekstil dan pakaian jadi meningkat pesat menjadi lebih dari 3,5 kali dari US$ 1.570,7 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 5.527,1 juta dalam tahun 1992/93, atau meningkat dengan rata-rata 37,0% per tahun (lihat Tabel V-4). Keberhasilan ekspor tekstil dan pakaian jadi tersebutterutama karena didukung oleh usaha perluasan pasar, perbaikan mutu, diversifikasi produksi tekstil, dan penanaman modal asing, yang secara bertahap terus dikembangkan.
Sementara itu, nilai ekspor kayu lapis meningkat dari US$ 2.095,0 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 2:861,3 jutadalam tahun 1992/93, atau meningkat rata-rata sebesar 8,1 % per tahun. Rendahnya peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh adanya kebijaksanaan diskriminatif yang dilakukan oleh Jepang dan pembatasan penggunaan produk-produk kayu yang berasal dari kayu tropis oleh negara-negara Eropa Barat.
Nilai ekspor hasil tambang di luar timah dan aluminium meningkat dari US$ 1.089,6 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 1.529,6 juta dalam tahun 1992/93, atau meningkat rata-rata sebesar 8,8% per tahun. Perkembangan tersebut didukung oleh meningkatnya ekspor beberapa hasil tambang utama, yaitu tembaga, batu bara dan emas, sejalan dengan peningkatan kapasitas produksihasil-hasil tambang tersebut.
Dalam tahun 1992/93 nilai ekspor udang, ikan dan hasil hewan lainnya hanya sebesar US$ 1.120,8 juta, atau turun sebesar 2,6% bila dibandingkan dengan tahun 1991/92. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya harga dari salah satu komoditi penting dalam kelompok ini, yaitu udang, sebagai akibat adanya kelebihan pasokan di pasaran Jepang dengan masuknya udang putih dari RRC. Selain itu, masih ditemui adanya hambatan berupa tingginya bea masuk ke pasaran Eropa serta masuknya produk udang Indonesia dalam daftar hitam karena adanya anggapan bahwa Indonesia masih merupakan daerah rawan wabah penyakit kolera.
Sementara itu, pertumbuhan ekspor karet cenderung melambat. Nilai ekspornya dalam tahun 1992/93 hanya sebesar US$ 941,0 juta, atau hanya meningkat sebesar 0,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan ini terutama karena melemahnya harga karet yang antara lain disebabkan oleh kegagalan Sidang Organisasi Karet Alam Internasional (INRO) dalam merumuskan ketentuan mengenai mekanisme harga.
Nilai ekspor hasil-hasil industri pengolahan yang paling menonjol adalah nilai ekspor alat listrik. Selama 4 tahun terakhir, nilai ekspornya mengalami peningkatan secara berturut-turut sebesar.
V/24 66,2% pada tahun 1989/90, 47,1 % pada tahun 1990/91, 110,3 % pada tahun 1991/92, dan 61,5 % pada tahun 1992/93, sehingga pada tahun 1992/93 nilainya mencapai US$ 878,0 juta. Peningkatan tersebut terutama karena perluasan pasar, peningkatan volume ekspor, dan peningkatan kapasitas produksi di dalam negeri. Ekspornya terutama ditujukan ke Singapura, Malaysia dan Amerika Serikat.
Dalam pada itu, nilai ekspor kerajinan tangan berupa kain tenun/sulaman, barang kerajinan dari kayu dan anyam-anyaman, jugamengalami peningkatan. Dibanding dengan tahun sebelumnya peningkatan ekspor komoditi ini adalah sebesar 36,0% pada tahun 1989/90, 42,1 % pada tahun 1990/91, 37,2% pada tahun 1991/92, dan 11,9% pada tahun 1992/93.
Sebaliknya, perkembangan ekspor kopi selama 4 tahun terakhir ini terus menurun. Nilainya adalah sebesar US$ 570,6 juta dalam tahun 1988/89 dan terus menurun sehingga menjadi US$ 348,8 juta dalam tahun 1992/93. Penurunan ini disebabkan oleh semakin menurunnya volume ekspor, serta terus menurunnya harga kopi di pasar internasional.
Ekspor minyak sawit dan biji kelapa sawit dalam 3 tahun terakhir terus meningkat. Dibanding dengan tahun sebelumnya peningkatan ekspor komoditi ini adalah sebesar 1,8% pada tahun 1990/91, 23,0% pada tahun ' 1991/92, dan 36,4% pada tahun 1992/93. Peningkatan ini terutama berketiaan dengan meningkatnya produksi, dihapuskannya tata niaga ekspor kelapa sawit sertaberkurangnya pasokan minyak kedele dan minyak kelapa di pasaran internasional.
Ekspor alas kaki merupakan salah satu komoditi penting dari eksporhasil-hasil lainnya dan menunjukkan perkembangan yang pesat. Pada tahun 1988/89 nilai ekspornya baru mencapai US$ 110,8 juta, tetapi pada tahun 1992/93 telah mencapai US$ 1,5 miliar. Peningkatan yang cukup pesat ini antara lain disebabkan oleh Meningkatnya produksi sebagai hasil relokasi industri sepatu terutama relokasi perusahaan Korea Selatan yang mendominasi produk sepatu olahraga.
Sementara itu, harga rata-rata minyak bumi Indonesia yang dicapai selama tahun 1992/93 adalah sebesar US$ 18,61 per barel dengan volume ekspor sebesar 348,3 juta barel. Nilai ekspornya pada tahun itu hanya mencapai US$ 6,4 miliar, atau turun dengan 7,4 % dibandingkan tahun sebelumnya.
Di lain pihak ekspor gas alam cair (LNG dan LPG) menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Selama 4 tahun terakhir nilai ekspornya meningkat dari US$ 2.633,0 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 4.118,0 juta dalam tahun 1992/93, atau meningkat dengan rata-rata 11,8% per tahun. Perkembangan ini menuju pula ke arah diversifikasi ekspor migas sehingga mengurangi ketergantungan pada ekspor minyak bumi.


E. IMPOR DAN JASA-JASA
Perkembangan impor selama 4 tahun pelaksanaan Repelita V berkaitan erat dengan laju pertumbuhan produksi di dalam negeri, yang berarti semakin besarnya kebutuhan akan impor bahan baku dan penolong serta barang-barang modal sesuai dengan tahap-tahap pembangunan. Usaha pemerintah untuk menyehatkan perekonomian melalui kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan telah pula mempengaruhi laju pertumbuhan impor.
Pada tahun 1992/93 keseluruhan nilai impor (f.o.b.) telah mencapai US$ 27,3 miliar, atau meningkat rata-rata per tahun sebesar 17,5 % sejak tahun 1988/89 (Tabel V-1). Impor non migas pada periode yang sama meningkat rata-rata sebesar 18,0% per tahun dari US$ 12,2 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 23,8 miliar pada tahun 1992/93, sedangkan impor migas meningkat rata-rata sebesar 14,5 % per tahun sehingga mencapai US$ 3,5 miliar.
Perkembangan dari beberapa komoditi impor non migas (c.i.f.) menurut golongan ekonomi yang diolah oleh Biro Pusat Statistik .
Komposisi impor barang konsumsi dalam tahun 1992 meningkat sedikit dari tahun 1991, yaitu dari 3,9% menjadi 4,6%. Barang dalam kelompok ini yang menunjukkan peningkatan terbesar adalah impor pangan dan minuman, yaitu dari US$ 235,8 juta menjadi US$ 419,9 juta, sebagai penunjang kunjungan wisatawan mancanegara.
Sementara itu, dominasi impor non migas dalam tahun 1992 masih dipegang oleh impor bahan baku/penolong, yang peranannya meningkat dari 63,5% dalam tahun 1991 menjadi 66,1 % dalam tahun 1992. Kenaikan impornya terjadi antara lain pada komoditi bahan baku industri pangan dan minuman sebesar 15,8%, bahanbaku industri lainnya sebesar 11,4%, serta suku cadang dan perlengkapan sebesar 9,6%.
Selanjutnya, walaupun peranan impor barang modal menurun dari 32,6% dalam tahun 1991 menjadi 29,3% dalam tahun 1992, namun terjadi peningkatan pada barang-barang seperti peralatan listrik sebesar 65,9%, mesin pembangkit tenaga listrik sebesar 50,1 %, dan alat telekomunikasi sebesar 39,1 %. Sedangkan imporalat pengangkutan turun sangat tajam sebesar 37,8%.
Perkembangan tersebut di atas mencerminkan makin banyak-nya barang-barang konsumsi yang diproduksikan di dalam negeri dan makin mendalamnya serta makin meluasnya kegiatan industri peng-olahan yang dilakukan di dalam negeri. Hal ini sejalan dengan pesatnya pengembangan industri dalam negeri.
Dalam pada itu, berbagai kebijaksanaan di bidang jasa jasa, terutama yang berkaitan dengan penerimaan devisa, terus disempur-nakan. Seperti terlihat dalam Tabel V-1 dalam tahun 1992/93 pengeluaran neto untuk jasa jasa telah mencapai US$ 10.548 juta, atau meningkat sebesar 13,9% dibandingkan dengan tahun sebelum-nya. Di sektor migas, pengeluaran jasa jasa neto telah meningkat dengan 13,3 % , yaitu dari US$ 3.001 juta pada tahun 1991/92 men-jadi US$ 3.399 juta pada.tahun 1992/93. Ini terutama disebabkan oleh meningkatnya biaya produksi minyak bumi.
Sementara itu, pengeluaran neto untuk impor jasa jasa di sektor non migas telah pula meningkat dari US$ 6.262 juta pada tahun 1991/92 menjadi US$ 7.149 juta pada tahun 1992/93, atau meningkat sebesar 14,2 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan yang cukup tinggi ini te.rutama disebabkan oleh meningkatnya pembayaran bunga pinjaman luar negeri, biaya angkutan barang impor, dan menurunnya penerimaan bunga bank-bank devisa. Dalam pada itu, penerimaan devisa dari sektor pariwisata meningkat sebesar 27,4%, yaitu dari US$ 2.602 juta dalam tahun 1991/92 menjadi US$ 3.314 juta dalam tahun 1992/93.

F. PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH
Sebagaimana digariskan dalam GBHN, pinjaman luar negeri sebagai sumber pembiayaan pelengkap dalam pembangunan, tidak boleh disertai dengan ikatan politik apapun, dan harus dimanfaatkan secara hati-hati, baik mengenai jumlah, persyaratan maupun penggunaannya, serta digunakan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian ekonomi nasional di kemudian hari.
Dalam tahun 1992/93 persetujuan pinjaman luar negeri Pemerintah mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari US$ 9.121,4 juta menjadi US$ 7.018,8 juta. Persetujuan pinjaman lunak yang terdiri dari Fast Disbursing Assistance dan bantuan proyek meningkat dari US$ 5.255,1 jutadalam tahun 1991/92 menjadi US$. 5.498,7 juta dalam tahun 1992/93. Di lain pihak, persetujuan pinjaman proyek lainnya, yang terdiri dari kredit ekspor dan kredit komersial menurun dari
US$ 3.466,3 juta dalam tahun 1991/92 menjadi US$ 1.520,1 juta dalam tahun 1992/93. Dalam pada itu, pinjaman tunai (komersial) mulai tahun 1992/93 ditiadakan. Ditinjau dari komposisi pinjaman, pinjaman luar negeri Pemerintah sebagian besar tetap dalam bentuk pinjaman lunak. Peranan pinjaman lunak telah meningkat dari 57,6% pada tahun 1991/92 menjadi 78,3% pada tahun 1992/93 seperti terlihat pada Tabel V-9. Perkembangan tersebut merupakan perwujudan dari kebijaksanaan pinjaman luar negeri yang berhati-hati dengan senantiasa memperhatikan kemampuan untuk membayar kembali.
Pelunasan pokok dan pembayaran bunga pinjaman meningkat terus dari US$ 6.328 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 7.535 juta dalam tahun 1992/93.Perkembangan ini sejalan dengan meningkatnya proyek-proyek yang dibangun dan memadatnya jatuh waktu pinjaman.
Sementara itu, perbandingan antara jumlah pelunasan pinjaman luar negeri Pemerintah terhadap ekspor (Debt Service Ratio) terus menurun, dari 31,9%dalam tahun 1988/89 menjadi 21,3% dalam tahun 1992/93.

BAB 10 Kebijakan Perdangan Luar Negeri

 TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
1. Menurut Absolute Advantage dari Adam Smith
Teori Absolute Advantage lebih mendasarkan pada besaran/variabel riil bukan moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory) perdagangan internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan perhatiannya pada variabel riil seperti misalnya nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai barang tersebut (Labor Theory of value ).
Teori absolute advantage Adam Smith yang sederhana menggunakan teori nilai tenaga kerja, Teori nilai kerja ini bersifat sangat sederhana sebab menggunakan anggapan bahwa tenaga kerja itu sifatnya homogeny serta merupakan satu-satunya factor produksi. Dalam kenyataannya tenaga kerja itu tidak homogen, factor produksi tidak hanya satu dan mobilitas tenaga kerja tidak bebas.
Kelebihan dari teori Absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan.

2. Menurut Comparative Advantage : JS Mill
Teori ini menyatakan bahwa suatu Negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki comparative diadvantage(suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar ).
Teori ini menyatakan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut.
Kelebihan untuk teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran dimana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori absolute advantage.

 COMPARATIVE COST DARI DAVID RICARDO
A. Cost Comparative Advantage ( Labor efficiency )
Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana Negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relative kurang/tidak efisien.

B. Production Comperative Advantage ( Labor produktifiti)
Suatu Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih produktif serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang / tidak produktif.
Sedangkan kelebihannya adalah perdagangan internasional antara dua negara tetap dapat terjadi walaupun hanya 1 negara yang memiliki keunggulan absolut asalkan masing-masing dari negara tersebut memiliki perbedaan dalam cost Comparative Advantage atau production Comparative Advantage.Teori ini mencoba melihat kuntungan atau kerugian dalam perbandingan relatif. Teori ini berlandaskan pada asumsi:
“Labor Theory of Value, yaitu bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang tersebut, dimana nilai barang yang ditukar seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk memproduksinya”.
Perdagangan internasional dilihat sebagai pertukaran barang dengan barang.
Tidak diperhitungkannya biaya dari pengangkutan dan lain-lain dalam hal pemasaran
Produksi dijalankan dengan biaya tetap, hal ini berarti skala produksi tidak berpengaruh.
Faktor produksi sama sekali tidak mobile antar negara. Oleh karena itu , suatu negara akan melakukan spesialisasi dalam produksi barang-barang dan mengekspornya bilamana negara tersebut mempunyai keuntungan dan akan mengimpor barang-barang yang dibutuhkan jika mempunyai kerugian dalam memproduksi.
Paham klasik dapat menerangkan comparative advantage yang diperoleh dari perdagangan luar negeri timbul sebagai akibat dari perbedaan harga relatif ataupun tenaga kerja dari barang-barang tersebut yang diperdagangkan.

 TEORI MODERN
Teori Heckscher-Ohlin (H-O) menjelaskan beberapa pola perdagangan dengan baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif.
Menurut Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan komparatif adalah:
1. Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi didalam suatu negara.
2. Faktor intensity, yaitu teksnologi yang digunakan didalam proses produksi, apakah labor intensity atau capital intensity.

A. The Proportional Factors Theory
Teori modern Heckescher-ohlin atau teori H-O menggunakan dua kurva pertama adalah kurva isocost yaitu kurva yang menggabarkan total biaya produksi yang sama. Dan kurva isoquant yaitu kurva yang menggabarkan total kuantitas produk yang sama. Menurut teori ekonomi mikro kurva isocost akan bersinggungan dengan kurva isoquant pada suatu titik optimal. Jadi dengan biaya tertentu akan diperoleh produk yang maksimal atau dengan biaya minimal akan diperoleh sejumlah produk tertentu. Analisis teori H-O :
 Harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing Negara.
 Comparative Advantage dari suatu jenis produk yang dimiliki masing-masing negara akan ditentukan oleh struktur dan proporsi faktor produksi yang dimilkinya.
 Masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif banyak dan murah untuk memproduksinya.
 Sebaliknya masing-masing negara akan mengimpor barang-barang tertentu karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif sedikit dan mahal untuk memproduksinya.

Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan sama pula sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi.

B. Paradoks Leontief
Wassily Leontief seorang pelopor utama dalam analisis input-output matriks, melalui study empiris yang dilakukannya pada tahun 1953 menemukan fakta, fakta itu mengenai struktur perdagangan luar negri (ekspor dan impor). Amerika serikat tahun 1947 yang bertentangan dengan teori H-O sehingga disebut sebagai paradoks Leontief Berdasarkan penelitian lebiih lanjut yang dilakukan ahli ekonomi perdagangan ternyata paradox liontief tersebut dapat terjadi karena empat sebab utama yaitu :
1. Intensitas faktor produksi yang berkebalikan
2. Tariff and Non tariff barrier
3. Pebedaan dalam skill dan human capital
4. Perbedaan dalam faktor sumberdaya alam

Kelebihan dari teori ini adalah jika suatu negara memiliki banyak tenaga kerja terdidik maka ekspornya akan lebih banyak. Sebaliknya jika suatu negara kurang memiliki tenaga kerja terdidik maka ekspornya akan lebih sedikit.

C. Teori Opportunity Cost
Opportunity Cost digambarkan sebagai production possibility curve ( PPC ) yang menunjukkan kemungkinan kombinasi output yang dihasilkan suatu Negara dengan sejumlah faktor produksi secara full employment. Dalam hal ini bentuk PPC akan tergantung pada asusmsi tentang Opportunity Cost yang digunakan yaitu PPC Constant cost dan PPC increasing cost.

D. Offer Curve/Reciprocal Demand (OC/RD)
Teori Offer Curve ini diperkenalkan oleh dua ekonom inggris yaitu Marshall dan Edgeworth yang menggambarkan sebagai kurva yang menunjukkan kesediaan suatu Negara untuk menawarkan/menukarkan suatu barang dengan barang lainnya pada berbagai kemungkinan harga.
Kelebihan dari offer curve yaitu masing-masing Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional yaitu mencapai tingkat kepuasan yang lebih tinggi.
Permintaan dan penawaran pada faktor produksi akan menentukan harga factor produksi tersebut dan dengan pengaruh teknologi akan menentukan harga suatu produk. Pada akhirnya semua itu akan bermuara kepada penentuan comparative advantage dan pola perdagangan (trade pattern) suatu negara. Kualitas sumber daya manusia dan teknologi adalah dua faktor yang senantiasa diperlukan untuk dapat bersaing di pasar internasional. Teori perdagangan yang baik untuk diterapkan adalah teori modern yaitu teori Offer Curve.

 PERKEMBANGAN EKSPOR INDONESIA
Nilai ekspor Indonesia Juli 2009 mencapai US$9,65 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 2,85% dibanding ekspor Juni 2009. Sebaliknya bila dibanding Juli 2008 mengalami penurunan sebesar 22,98 %.
 Ekspor nonmigas Juli 2009 mencapai US$8,18 miliar, naik 3,14 persen dibanding Juni 2009 sedangkan dibanding ekspor Juli 2008 menurun 15,21 %.
 Secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Juli 2009 mencapai US$59,72 miliar atau menurun 27,98 % dibanding periode yang sama tahun 2008, sementara ekspor nonmigas mencapai US$51,08 miliar atau menurun 20,13 %.
 Peningkatan ekspor nonmigas terbesar Juli 2009 terjadi pada bahan bakar mineral sebesar US$525,6 juta, sedangkan penurunan terbesar terjadi pada lemak & minyak hewan/nabati sebesar US$130,6 juta.
 Ekspor nonmigas ke Jepang Juli 2009 mencapai angka terbesar yaitu US$974,3 juta, disusul AmerikaSerikat US$942,7 juta dan Cina US$691,6 juta, dengan kontribusi ketiganya mencapai 31,90 %.Sementara ekspor ke Uni Eropa ( 27 negara ) sebesar US$1,11 miliar.
 Menurut sektor, ekspor hasil industri periode Januari-Juli 2009 turun sebesar 26,64 persen dibanding periode yang sama tahun 2008, demikian juga ekspor hasil pertanian menurun 11,69 %, sebaliknya ekspor hasil tambang dan lainnya naik sebesar 19,79 %.

 TINGKAT DAYA SAING
Daya saing Indonesia masih dibawah negara-negara tetangga di kawaan Asia Tenggara.Adapun faktor-faktor penyebabnya antara lain:
 Menurut World Economic Forum (WEF),yang telah malakukan survey 139 negara, Indonesia berada pada urutan ke 44 dibawah Thailand yang berada di urutan 38,Brunei pada urutan ke 28,Malaysia pada urutan ke 26 dan Singapura pada urutan ke 3.

Pertanyaanya,mengapa Indonesia tidak beranjak dalam kategori daya saing yang rendah?Ada beberapa penyebab mengapa Indonesia tatap bercokol pada kelompok negara dengan daya saing ekonomi yang rendah antara lain:
1. Infrastruktur (social overhead capital).Dalam sebuah survey didapatkan bahwa kondisi jalan di Indonesia berada pada urutan ke 84 dunia,pelabuhan urutan ke 96,listrik urutan ke 97,sangat tertinggal kalau kita bandingkan lagi dengan negara asia tenggara yaitu Malaysia urutan ke 30,Thailand urutan ke 23 dan singapura berada pada urutan ke 5. Dengan kualitas yang demikian akan melemahkan dorongan untuk berusaha atau memperluas usaha dan juga dapat menghambat investor asing tidak tertarik melakukan investasi langsung.Mereka lebih tertarik berinvestasi dalam bentuk portofolio,seperti Surat Utang Negara (SUN).Sekarang ini,arus modal asing melalui pembelian SUN sebesar Rp 178,5 trilliun.Tetapi modal ini sulit dipergunakan membiayai sektor riil karena merupakan hot money,dan sebaliknya dapat menyebabkan bencana apabila sewaktu-waktu penanam modal menarik modalnya.
2. Birokrasi pemerintah.Birokrasi pemerintah sampai saat ini masih belum effisien.Pengurusan ijin-ijin usaha dan ijin lainya memerlukan waktu yang lama dan harus melalui mata rantai yang panjang dan masih disertai pungutan-pungutan yang tidak semestinya.
3. Kepastian hukum.Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi semangat berusaha dan berkompetisi adalah kepastian hukum.Iklim usaha yang baik dan semangat bersaing yang fair hanya dapat dilakukan apabila negara menjamin tegaknya supremasi hukum (rule of law).
4. Korupsi.Untuk negara negara ASEAN,Indonesia masih termasuk negara terkorup.Korupsi di Indonesia sudah masuk pada semua tingkat birokrasi,dari tingkat paling atas sampai ke tingkat paling bawah.
5. Kualitas sumber daya manusia.Kualitas sumber daya manusia Indonesia masih rendah.Hal ini disebabkan antara lain karena tingkat pendidikan yang rendah.Tingkat pendidikan tersebut akan berakibat pada rendahnya tingkat produktivitas yang rendah pula.Faktor lain yang menkadi penyebab adalah tingkat kesehatan,karena tingkat ekonomi yang rendah dan biaya pengobatan yang mahal.

Jumat, 22 April 2011

BAB 9 KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

A. Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Moneter (Monetary Policy)

Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
• Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar
• Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policu).

Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.

2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.

4. Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.


B. Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :
1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.

 Peran pemerintah secara umum
Dalam menjalankan roda ekonomi, suatu Negara akan sangat tergantung pada sistem apa yang akan mereka anut,karena hal ini sangat mempengaruhi peran yang akan dijalankan oleh Negara tersebut.Selain itu ideology juga menjadi faktor penentu dalam sistem perekonomian disuatu Negara.Hal ini pula yang menjadi pembeda dalam kegiatan perekonomian yang akan terlihat jelas pada setiap kebijakan atau keputusan-keputusan dalam proses pengelolaan ekonomi suatu Negara.
Hal ini pula yang semangkin menjelaskan peran pemerintah/ Negara dalam hal pemerataan distribusi pendapatan dan sebagai pengaawas (hisbah),yang tujuannya untuk mengawasi kinerja sistem pasar agar terwujud mekanisme pasar bebas.
Dalam hal pemecahan permasalahan perekonomian ,berdasarkan fakta hakikat permasalahan ekonomi tergantung pada bagaimana distribusi harta dan jasa yanga ada dalam masyarakat tersebut, titik berat pemecahan permasalahan ekonomi yakni bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil.
Menurut pemikiran Monzer Khaff peran Negara dalam menjalankan sistem perekonomian harus berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
1. Memajukan sector swasta dengan tetap memperhatikan kepentingan umum
2. Sumber daya alam dikelola secara barsama, dimana pengelola menyewa lahan kepada umum.
3. Kebijakan investasi secara langsung.
4. Proyek yang dikerjakan oleh individu, tetap dapat dinikmati oleh orang banyak

 Peran Pemerintah Daerah
Menurut Lincolin Arsyad bahwa ada 4 peran pemerintah (Daerah) dalam pembangunan ekonomi Indonesia :
1. Entreprenuer
Adalah merupakan tanggung jawab untuk menjalankan suatu usaha bisnis didaerahnya dalam hal ini pemerintah daerah bisa mengembangkan suatu usaha sendiri dengan membentuk BUMN atau bermitra dengan dunia usaha swasta. Namun kegiatan usahanya tetap dalam pengendalian pemerintah daerah.
Pemerintah daerah harus mampu mengelola aset-aset pemerintah daerah dengan baik dan ekonomis, sehingga mampu memberikan keuntungan bagi pemerintah daerah.

2. Koordinator
Pemerintah daerah sebagai koordinator dalam pembangunan ekonomi didaerahnya yaitu melalui penetapan kebijakan atau mengusulkan strategi-strategi pembangunan yang komprehensip bagi kemajuan daerahnya.
Pemerintah daerah juga dapat melibatkan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dunia usaha dan masyarakat dalam menyusun sasaran-sasaran ekonomi, rencana-rencana dan srategi-strategi pelaksanaannya.

3. Fasilitator
Pemerintah daerah dapat berperan sebagai fasilitator dengan cara mempercepat pembangunan melalui perbaikan lingkungan Attitudinal (prilaku atau budaya masyarakat) didaerahnya.
Hal ini perlu dilakukan untuk mempercepat proses pembangunan dan prosedur perencanaan, serta pengaturan penetapan tata ruang daerah (zoning) yang lebih baik.

4. Stimulator
Pemerintah daerah dapat berperan sebagai stimulator dalam penciptaan dan pengembangan usaha melalui tindakan-tindakn khusus yang dapat mempengaruhidunia usaha untuk masuk kedaerah tersebut dan menjaga agar perusahaan-perusahaan yang telah ada tetap eksis berada didaerah tersebut.
Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan pembuatan brosur-brosur pembangunan kawasan industry, pembuatan outlets untuk produk-produk UMKM dan koperasi, membantu UMKM dan koperasi untuk melakukan pameran dan sebagainya.

Kamis, 21 April 2011

BAB 8 Pelaku-Pelaku Ekonomi

Sistem ekonomi kerakyatan sendi utamanya adalah UUD 1945 pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (1) adalah koperasi, dan bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (2) dan (3) adalah perusahaan negara. Adapun dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi “hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan seorang”. Hal itu berarti perusahaan swasta juga mempunyai andil di dalam sistem perekonomian Indonesia. Dengan demikian terdapat tiga pelaku utama yang menjadi kekuatan sistem perekonomian di Indonesia, yaitu perusahaan negara (pemerintah), perusahaan swasta, dan koperasi.
Ketiga pelaku ekonomi tersebut akan menjalankan kegiatan-kegiatan ekonomi dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebuah sistem ekonomi akan berjalan dengan baik jika pelaku-pelakunya dapat saling bekerja sama dengan baik pula dalam mencapai tujuannya. Dengan demikian sikap saling mendukung di antara pelaku ekonomi sangat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan ekonomi kerakyatan.

 Pemerintah (BUMN)

Pada semester 1 kalian telah mempelajari mengenai pelaku-pelaku ekonomi, di mana negara atau pemerintah termasuk dalam pelaku ekonomi. Selain sebagai pelaku ekonomi negara juga berperan sebagai pengatur kegiatan ekonomi :

1. Pemerintah sebagai Pelaku Kegiatan Ekonomi
Peran pemerintah sebagai pelaku kegiatan ekonomi berarti pemerintah melakukan kegiatan konsumsi, produksi, dan distribusi:

a ) Kegiatan produksi
Pemerintah dalam menjalankan perannya sebagai pelaku ekonomi, mendirikan perusahaan negara atau sering dikenal dengan sebutan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2003, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN dapat berbentuk Perjan (Perusahaan Jawatan), Perum (Perusahaan Umum), dan Persero (Perusahaan Perseroan). Mengenai ciri-ciri dari ketiga bentuk perusahaan negara di atas telah kalian pelajari di kelas VII semester 2. BUMN memberikan kontribusi yang positif untuk perekonomian Indonesia. Pada sistem ekonomi kerakyatan, BUMN ikut berperan dalam menghasilkan barang atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha hampir di seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, manufaktur, pertambangan, keuangan, pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri, dan perdagangan serta konstruksi.
BUMN didirikan pemerintah untuk mengelola cabang-cabang produksi dan sumber kekayaan alam yang strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya PT Dirgantara Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara, PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), PT Pos Indonesia, dan lain sebagainya. Perusahaan-perusahaan tersebut didirikan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, serta untuk mengendalikan sektor-sektor yang strategis dan yang kurang menguntungkan. Secara umum, peran BUMN dapat dilihat pada hal-hal berikut ini:

• Mengelola cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
• Sebagai pengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara efektif dan efisien.
• Sebagai alat bagi pemerintah untuk menunjang kebijaksanaan di bidang ekonomi.
• Menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat sehingga dapat menyerap tenaga kerja.

b ) Kegiatan konsumsi
Seperti halnya yang telah kalian pelajari pada bab 8 mengenai pelaku-pelaku ekonomi, pemerintah juga berperan sebagai pelaku konsumsi. Pemerintah juga membutuhkan barang dan jasa untuk menjalankan tugasnya. Seperti halnya ketika menjalankan tugasnya dalam rangka melayani masyarakat, yaitu mengadakan pembangunan gedung-gedung sekolah, rumah sakit, atau jalan raya. Tentunya pemerintah akan membutuhkan bahan-bahan bangunan seperti semen, pasir, aspal, dan sebagainya. Semua barang-barang tersebut harus dikonsumsi pemerintah untuk menjalankan tugasnya. Contoh-contoh mengenai kegiatan konsumsi yang dilakukan pemerintah masih banyak, seperti membeli barang-barang untuk administrasi pemerintahan, menggaji pegawai-pegawai pemerintah, dan sebagainya.

c ) Kegiatan distribusi
Selain kegiatan konsumsi dan produksi, pemerintah juga melakukan kegiatan distribusi. Kegiatan distribusi yang dilakukan pemerintah dalam rangka menyalurkan barang-barang yang telah diproduksi oleh perusahaanperusahaan negara kepada masyarakat. Misalnya pemerintah menyalurkan sembilan bahan pokok kepada masyarakat-masyarakat miskin melalui BULOG. Penyaluran sembako kepada masyarakat dimaksudkan untuk membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan distribusi yang dilakukan oleh pemerintah harus lancar. Apabila kegiatan distribusi tidak lancar akan memengaruhi banyak faktor seperti terjadinya kelangkaan barang, harga barang-barang tinggi, dan pemerataan pembangunan kurang berhasil. Oleh karena itu, peran kegiatan distribusi sangat penting.

2 . Pemerintah sebagai Pengatur Kegiatan Ekonomi
Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di bidang ekonomi tidak hanya berperan sebagai salah satu pelaku ekonomi, akan tetapi pemerintah juga berperan dalam merencanakan, membimbing, dan mengarahkan terhadap jalannya roda perekonomian demi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Dalam rangka melaksanakan peranannya tersebut pemerintah menempuh kebijaksanaan-kebijaksanaan berikut ini:

A ) Kebijaksanaan dalam dunia usaha Usaha untuk mendorong dan memajukan dunia usaha, pemerintah melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan berikut ini.
• Pemerintah mengeluarkan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
• Pemerintah mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1992 mengatur tentang Usaha Perbankan.
• Pemerintah mengubah beberapa bentuk perusahaan negara agar tidak menderita kerugian, seperti Perum Pos dan Giro diubah menjadi PT Pos Indonesia, Perjan Pegadaian diubah menjadi Perum Pegadaian.

B ) Kebijaksanaan di bidang perdagangan
Di bidang perdagangan, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan berupa kebijaksanaan ekspor dan kebijaksanaan impor. Pemerintah menetapkan kebijakan ekspor dengan tujuan untuk memperluas pasar di luar negeri dan meningkatkan daya saing terhadap barang-barang luar negeri. Adapun kebijakan impor dimaksudkan untuk menyediakan barang-barang yang tidak bisa diproduksi dalam negeri, pengendalian impor, dan meningkatkan daya saing.
C ) Kebijaksanaan dalam mendorong kegiatan masyarakat Kebijaksanaan pemerintah dalam mendorong kegiatan masyarakat mencakup hal-hal berikut ini:
• Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana umum.
• Kebijaksanaan menyalurkan kredit kepada pengusaha kecil dan petani.
• Kebijaksanaan untuk memperlancar distribusi hasil produksi.

 Swasta (BUMS)
BUMS adalah salah satu kekuatan ekonomi di Indonesia. BUMS merupakan badan usaha yang didirikan dan dimiliki oleh pihak swasta. Tujuan BUMS adalah untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. BUMS didirikan dalam rangka ikut mengelola sumber daya alam Indonesia, namun dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah dan UUD 1945. BUMS dalam melakukan perannya mengandalkan kekuatan pemilikan modal. Perkembangan usaha BUMS terus didorong pemerintah dengan berbagai kebijaksanaan. Kebijaksanaan pemerintah ditempuh dengan beberapa pertimbangan berikut ini:

a. Menumbuhkan daya kreasi & partisipasi masyarakat dalam usaha mencapai kemakmuran sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
b. Terbatasnya modal yang dimiliki pemerintah untuk menggali dan mengolah sumber daya alam Indonesia sehingga memerlukan kegairahan usaha swasta.
c. Memberi kesempatan agar perusahaan-perusahaan swasta dapat memperluas kesempatan kerja.
d. Mencukupi kebutuhan akan tenaga ahli dalam menggali dan mengolah sumber daya alam.
Perusahaan-perusahaan swasta sekarang ini telah memasuki berbagai sektor kehidupan antara lain di bidang perkebunan, pertambangan, industri, tekstil, perakitan kendaraan, dan lain-lain. Perusahaan swasta terdiri atas dua bentuk yaitu perusahaan swasta nasional dan perusahaan asing. Contoh perusahaan swasta nasional antara lain PT Astra Internasional (mengelola industri mobil dan motor), PT Ghobel Dharma Nusantara (mengelola industri alat-alat elektronika), PT Indomobil (mengelola industri mobil), dan sebagainya. Adapun contoh perusahaan asing antara lain PT Freeport Indonesia Company (perusahaan Amerika Serikat yang mengelola pertambangan tembaga di Papua, Irian Jaya), PT Exxon Company (perusahaan Amerika Serikat yang mengelola pengeboran minyak bumi), PT Caltex Indonesia (perusahaan Belanda yang mengelola pertambangan minyak bumi di beberapa tempat di Indonesia), dan sebagainya.
Perusahaan-perusahaan swasta tersebut sangat memberikan peran penting bagi perekonomian di Indonesia. Peran yang diberikan BUMS dalam perekonomian Indonesia seperti berikut ini.
a. Membantu meningkatkan produksi nasional.
b. Menciptakan kesempatan dan lapangan kerja baru.
c. Membantu pemerintah dalam usaha pemerataan pendapatan.
d. Membantu pemerintah mengurangi pengangguran.
e. Menambah sumber devisa bagi pemerintah.
f. Meningkatkan sumber pendapatan negara melalui pajak.
g. Membantu pemerintah memakmurkan bangsa.

 KOPERASI
A. Sejarah Koperasi
Koperasi pertama di Indonesia dimulai pada penghujung abad ke-19, tepatnya tahun 1895. Pelopor koperasi pertama di Indonesia adalah R. Aria Wiriaatmaja, yaitu seorang patih di Purwokerto. Ia mendirikan sebuah bank yang bertujuan menolong para pegawai agar tidak terjerat oleh lintah darat. Usaha yang didirikannya diberi nama Bank Penolong dan Tabungan (Hulp en Spaarbank). Perkembangan koperasi yang didirikan oleh R. Aria Wiriaatmaja semakin baik. Akibatnya setiap gerak-gerik koperasi tersebut diawasi dan mendapat banyak rintangan dari Belanda. Upaya yang ditempuh pemerintah kolonial Belanda yaitu dengan mendirikan Algemene Volkscrediet Bank, rumah gadai, bank desa, serta lumbung desa.
Pada tahun 1908 melalui Budi Utomo, Raden Sutomo berusaha mengembangkan koperasi rumah tangga. Akan tetapi koperasi yang didirikan mengalami kegagalan. Hal itu dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat akan manfaat koperasi. Pada sekitar tahun 1913, Serikat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Serikat Islam, mempelopori pula pendirian koperasi industri kecil dan kerajinan. Koperasi ini juga tidak berhasil, karena rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya penyuluhan kepada masyarakat, dan miskinnya pemimpin koperasi pada waktu itu. Setelah dibentuknya panitia koperasi yang diketuai oleh Dr. DJ. DH. Boeke pada tahun 1920, menyusun peraturan koperasi No. 91 Tahun 1927. Peraturan tersebut berisi persyaratan untuk mendirikan koperasi, yang lebih longgar dibandingkan peraturan sebelumnya, sehingga dapat mendorong masyarakat untuk mendirikan koperasi. Setelah diberlakukannya peraturan tersebut, perkembangan koperasi di Indonesia mulai menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan.
Selama masa pendudukan Jepang yaitu pada tahun 1942 – 1945, usaha-usaha koperasi dipengaruhi oleh asas-asas kemiliteran. Koperasi yang terkenal pada waktu itu bernama Kumiai. Tujuan Kumiai didirikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun pada kenyataannya Kumiai hanyalah tempat untuk mengumpulkan bahan-bahan kebutuhan pokok guna kepentingan Jepang melawan Sekutu. Oleh karena itulah, menyebabkan semangat koperasi yang ada di masyarakat menjadi lemah. Setelah kemerdekaan, bangsa Indonesia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan kebijakan ekonominya. Para pemimpin bangsa Indonesia mengubah tatanan perekonomian yang liberalkapitalis menjadi tatanan perekonomian yang sesuai dengan semangat pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana diketahui, dalam pasal 33 UUD 1945, semangat koperasi ditempatkan sebagai semangat dasar perekonomian bangsa Indonesia.
Berdasarkan pasal itu, bangsa Indonesia bermaksud untuk menyusun suatu sistem perekonomian usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Oleh karena itulah, Muhammad Hatta kemudian merintis pembangunan koperasi. Perkembangan koperasi pada saat itu cukup pesat, sehingga beliau dianugerahi gelar bapak koperasi Indonesia. Untuk memantapkan kedudukan koperasi disusunlah UU No. 25 Tahun 1992.

B. Pengertian Koperasi
Keberadaan koperasi di Indonesia berlandaskan pada pasal 33 UUD 1945 dan UU No. 25 Tahun 1992. Pada penjelasan UUD 1945 pasal 33 ayat (1), koperasi berkedudukan sebagai “soko guru perekonomian nasional” dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem perekonomian nasional. Adapun penjelasan dalam UU No. 25 Tahun 1992, menyebutkan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Berdasarkan pada pengertian koperasi di atas, menunjukkan bahwa koperasi di Indonesia tidak semata-mata dipandang sebagai bentuk perusahaan yang mempunyai asas dan prinsip yang khas, namun koperasi juga dipandang sebagai alat untuk membangun sistem perekonomian Indonesia. Koperasi diharapkan dapat mengembangkan potensi ekonomi rakyat dan mewujudkan demokrasi ekonomi yang sesuai dengan yang diamanatkan dalam UUD 1945.

C. Landasan, Asas, dan Tujuan Koperasi
Landasan koperasi Indonesia adalah pedoman dalam menentukan arah, tujuan, peran, serta kedudukan koperasi terhadap pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Koperasi Indonesia mempunyai beberapa landasan berikut ini :

1) Landasan idiil: Pancasila.
2) Landasan struktural: UUD 1945.
3) Landasan operasional: UU No. 25 Tahun 1992 dan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
4) Landasan mental: kesadaran pribadi dan kesetiakawanan. UU No. 25 Tahun 1992 pasal 2 menetapkan bahwa kekeluargaan sebagai asas koperasi.
Semangat kekeluargaan inilah yang menjadi pembeda utama antara koperasi dengan bentuk-bentuk perusahaan lainnya. Koperasi didirikan dengan tujuan untuk memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

D. Fungsi dan Peran Koperasi
Sesuai dengan UU No. 25 Tahun 1992 pasal 4 menyatakan bahwa fungsi dan peran koperasi seperti berikut ini:

1) Membangun dan mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial mereka.
2) Turut serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.
3) Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko gurunya.
4) Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.

Rabu, 20 April 2011

BAB 7 Industrialisasi

1. Konsep dan Tujuan Industrialisasi

Awal konsep industrialisasi adalah Revolusi industri abad 18 di Inggris kemudian Penemuan metode baru dlm pemintalan dan penemuan kapas yg menciptakan spesialisasi produksi dan peningkatan produktivitas factor produksi.
Industrialisasi adalah suatu proses interkasi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan dunia untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mendorong perubahan struktur ekonomi.
Industrialisasi merupakan salah satu strategi jangka panjang untuk menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya beberapa Negara dengan penduduk sedikit & kekayaan alam melimpah seperti Kuwait & libya ingin mencapai pendapatan yang tinggi tanpa industrialisasi.Tujuan pembangunan industri nasional baik jangka menengah maupun jangka panjang ditujukan untuk mengatasi permasalahan dan kelemahan baik di sektor industri maupun untuk mengatasi permasalahan secara nasional, yaitu :
1) Meningkatkan penyerapan tenaga kerja industri.
2) Meningkatkan ekspor Indonesia dan pember-dayaan pasar dalam negeri.
3) Memberikan sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi perekonomian.
4) Mendukung perkembangan sektor infrastruktur.
5) Meningkatkan kemampuan teknologi.
6) Meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk.
7) Meningkatkan penyebaran industri.

2. Faktor-faktor Pendorong Industrialisasi

a. Kemampuan teknologi dan inovasi
b. Laju pertumbuhan pendapatan nasional per kapita
c. Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Negara yang awalnya memiliki industri dasar/primer/hulu seperti baja, semen, kimia, dan industri tengah seperti mesin alat produksi akan mengalami proses industrialisasi lebih cepat
d. Besar pangsa pasar DN yang ditentukan oleh tingkat pendapatan dan jumlah penduduk. Indonesia dengan 200 juta orang menyebabkan pertumbuhan kegiatan ekonomi
e. Ciri industrialisasi yaitu cara pelaksanaan industrialisasi seperti tahap implementasi, jenis industri unggulan dan insentif yang diberikan.
f. Keberadaan SDA. Negara dengan SDA yang besar cenderung lebih lambat dalam industrialisasi
g. Kebijakan/strategi pemerintah seperti tax holiday dan bebas bea masuk bagi industri orientasi ekspor.

3. Perkembangan Sektor Industri Manufaktur Nasional

Perusahaan manufaktur merupakan penopang utama perkembangan industri di sebuah negara. Perkembangan industri manufaktur di sebuah negara juga dapat digunakan untuk melihat perkembangan industri secara nasional di negara itu. Perkembangan ini dapat dilihat baik dari aspek kualitas produk yang dihasilkannya maupun kinerja industri secara keseluruhan.
Sejak krisis ekonomi dunia yang terjadi tahun 1998 dan merontokkan berbagai sendi perekonomian nasional, perkembangan industri di Indonesia secara nasional belum memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan perkembangan industri nasional, khususnya industri manufaktur, lebih sering terlihat merosot ketimbang grafik peningkatannya.Sebuah hasil riset yang dilakukan pada tahun 2006 oleh sebuah lembaga internasional terhadap prospek industri manufaktur di berbagai negara memperlihatkan hasil yang cukup memprihatinkan. Dari 60 negara yang menjadi obyek penelitian, posisi industri manufaktur Indonesia berada di posisi terbawah bersama beberapa negara Asia, seperti Vietnam. Riset yang meneliti aspek daya saing produk industri manufaktur Indonesia di pasar global, menempatkannya pada posisi yang sangat rendah.
Industri manufaktur masa depan adalah industri-industri yang mempunyai daya saing tinggi, yang didasarkan tidak hanya kepada besarnya potensi Indonesia (comparative advantage), seperti luas bentang wilayah, besarnya jumlah penduduk serta ketersediaan sumber daya alam, tetapi juga berdasarkan kemampuan atau daya kreasi dan keterampilan serta profesionalisme sumber daya manusia Indonesia (competitive advantage).

4. Permasalahan Industrialisasi

Industri manufaktur di LDCs lebih terbelakang dibandingkan di DCs, hal ini karena :
1. Keterbatasan teknologi.
2. Kualitas Sumber daya Manusia.
3. Keterbatasan dana pemerintah (selalu difisit) dan sektor swasta.
4. Kerja sama antara pemerintah, industri dan lembaga pendidikan & penelitian masih rendah.


5. Strategi Pembangunan Sektor Industri

Startegi pelaksanaan industrialisasi :
 Strategi substitusi impor (Inward Looking).
Bertujuan mengembangkan industri berorientasi domestic yang dapat menggantikan produk impor. Negara yang menggunakan strategi ini adalah Korea & Taiwan.
Pertimbangan menggunakan strategi ini:
- Sumber daya alam & Faktor produksi cukup tersedia
- Potensi permintaan dalam negeri memadai
- Sebagai pendorong perkembangan industri manufaktur dalam negeri
- Kesempatan kerja menjadi luas
- Pengurangan ketergantungan impor, shg defisit berkurang’

 Strategi promosi ekspor (outward Looking)
Beorientasi ke pasar internasional dalam usaha pengembangan industri dalam negeri yang memiliki keunggulan bersaing.
Rekomendasi agar strategi ini dapat berhasil :

- Pasar harus menciptakan sinyal harga yang benar yang merefleksikan kelangkaan barang yang bisa baik pasar input maupun output.
- Tingkat proteksi impor harus rendah.
- Nilai tukar harus realistis.
- Ada insentif untuk peningkatan ekspor.

BAB 6 Sektor Pertanian

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.
Bagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian, namun pertanian hanya menyumbang 4% dari PDB dunia. Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto.
Kelompok ilmu-ilmu pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu pendukungnya. Inti dari ilmu-ilmu pertanian adalah biologi dan ekonomi. Karena pertanian selalu terikat dengan ruang dan waktu, ilmu-ilmu pendukung, seperti ilmu tanah, meteorologi, permesinan pertanian, biokimia, danstatistika, juga dipelajari dalam pertanian. Usaha tani (farming) adalah bagian inti dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya. Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani, sebagai contoh "petani tembakau" atau "petani ikan". Pelaku budidaya hewan ternak (livestock) secara khusus disebut sebagai peternak.
Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Setidaknya ada empat hal yang dapat dijadikan alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara berkembang yang masih relatif tertinggal dalam penguasaan Iptek muktahir serta masih menghadapi kendala keterbatasan modal, jelas belum memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) pada sektor ekonomi yang berbasis Iptek dan padat modal. Oleh karena itu pembangunan ekonomi Indonesia sudah selayaknya dititikberatkan pada pembangunan sektor-sektor ekonomi yang berbasis pada sumberdaya alam, padat tenaga kerja, dan berorientasi pada pasar domestik. Dalam hal ini, sektor pertanianlah yang paling memenuhi persyaratan.
Kedua, menurut proyeksi penduduk yang dilakukan oleh BPS penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 228-248 juta jiwa pada tahun 2008-2015. Kondisi ini merupakan tantangan berat sekaligus potensi yang sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran produk (produksi) maupun dari sisi permintaan produk (pasar) khususnya yang terkait dengan kebutuhan pangan. Selain itu ketersedian sumber daya alam berupa lahan dengan kondisi agroklimat yang cukup potensial untuk dieksplorasi dan dikembangkan sebagai usaha pertanian produktif merupakan daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya.
Ketiga, walaupun kontribusi sektor pertanian bagi output nasional masih relatif kecil dibandingkan sektor lainnya yakni hanya sekitar 12,9 persen pada tahun 2006 namun sektor pertanian tetap merupakan salah satu sumber pertumbuhan output nasional yang penting. Berdasarkan data BPS, pada Bulan Februari 2007 tercatat sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar, yakni sekitar 44 persen.
Keempat, sektor pertanian memiliki karakteristik yang unik khususnya dalam hal ketahanan sektor ini terhadap guncangan struktural dari perekonomian makro (Simatupang dan Dermoredjo, 2003 dalam Irawan, 2006). Hal ini ditunjukkan oleh fenomena dimana sektor ini tetap mampu tumbuh positif pada saat puncak krisis ekonomi sementara sektor ekonomi lainnya mengalami kontraksi. Saat kondisi parah dimana terjadi resesi dengan pertumbuhan PDB negatif sepanjang triwulan pertama 1998 sampai triwulan pertama 1999, nampak bahwa sektor pertanian tetap bisa tumbuh dimana pada triwulan 1 dan triwulan 3 tahun 1998 pertumbuhan sektor pertanian masing-masing 11,2 persen, sedangkan pada triwulan 1 tahun 1999 tumbuh 17,5 persen. Adapun umumnya sektor nonpertanian pada periode krisis ekonomi yang parah tersebut pertumbuhannya adalah negatif (Irawan, 2004, dalam Irawan, 2006).
Mengingat pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional tersebut sudah seharusnya kebijakan-kebijakan negara berupa kebijakan fiskal, kebijakan moneter, serta kebijakan perdagangan tidak mengabaikan potensi sektor pertanian. Bahkan dalam beberapa kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pentingnya sektor pertanian dengan menempatkan revitalisasi pertanian sebagai satu dari strategi tiga jalur (triple track strategy) untuk memulihkan dan membangun kembali ekonomi Indonesia. Salah satu tantangan utama dalam menggerakan kinerja dan memanfaatkan sektor pertanian ini adalah modal atau investasi. Pengembangan investasi di sektor pertanian diperlukan untuk dapat memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani, serta pengembangan wilayah khususnya wilayah perdesaan.


Peran Dalam Ekonomi

Indonesia disebut negara agraris atau pertanian karena peran pertanian masih dominan
dalam hal:
PDB (Produk Domestik Bruto) Penyerapan tenaga kerja

Nilai ekspor.
Sesudah melewati 5 kali Pelita (25 tahun) diharapkan Indonesia menjadi negara industri, tetapi akibat krisis ekonomi Juni 1997, harapan tersebut jadi buyar. Bahkan sektor pertanian sebagai salah satu penyelamat dalam perekonomian di Indonesia.
Dari ke empat sektor produksi yaitu Pertanian, Perindustrian, Pertambangan dan Perdagangan (jasa), yang jumlahnya 100% pada setiap tahun, maka peran sektor pertanian dalam PDB pada tahun 1939 adalah 61%, sedangkan peran atau kontribusi ke tiga sektor lainnya hanya 39%. Dapat dilihat bahwa peran sektor pertanian dalam PDB makin lama makin menurun. Pada tahun 1975 hanya 32% dan pada tahun 1990 tinggal 19,6% .
Peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja juga makin menurun dari tahun ke tahun, tetapi tidak secepat menurunnya seperti peran dalam PDB. Pada Tahun 1939 peran pertanian dalam penyerapan tenaga kerja adalah 73,9% dan pada tahun 1990 masih ada sebesar 53,4%.
Peran sektor pertanian dalam ekspor sama halnya dengan perannya dalam PDB. Dalam ekspor pada tahun 1928 mencapai 79%, namun peran ini cepat menurun setelah masa kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1974 peran pertanian dalam ekspor adalah 23%. Perhatikan, bahwa di tahun 1986 peran pertanian dalam PDB hanya 25% dan dalam tenaga kerja masih tinggi yakni 55%. Jumlah kue yang dibagi sudah sedikit, yang ikut membagi masih banyak, karena itu timbullah kemiskinan rakyat di sektor pertanian. Pada saat itu ada nilai ekspor pertanian sekian persen, tetapi ini tidak akan dinikmati oleh rakyat di sektor pertanian. Ini berdampak timbulnya gap yang besar antar sektor ekonomi. Pada era sebelum kemerdekaan peran sektor pertanian dalam PDB, tenaga kerja dan nilai ekspor adalah masih berimbang. Sebagai contohnya pada tahun 1939 kontribusi pertanian adalah sebagai berikut:
• Sumbangan dalam PDB = 61%.
• Penyerapan tenaga kerja = 74%.
• Nilai ekspor hasil pertanian = 79%.

Pada era Orde Baru, power sektor pertanian Republik Indonesia sudah lemah misalnya pada tahun 1985 kontribusi pertanian dapat digambarkan sebagai berikut:
• Sumbangan dalam PDB = 24%.
• Penyerapan tenaga kerja = 55%.
• Nilai ekspor hasil pertanian = 23%.

Penyebab utama merosotnya kontribusi sektor pertanian karena policy dari pemerintah terlalu tergila-gila ke sektor manufacturing, bukan ke agroindustri. Pabrik kapal terbang dan manufacturing lainnya memakai investasi yang sangat tinggi, bukan mendorong kemajuan pertanian, bahkan hasil dari pertanianlah dikorbankan kesana.
Menurunnya peran atau kontribusi sektor pertanian dalam PDB atau dalam nilai ekspor bukan berarti jumlah PDB sektor pertanian atau jumlah nilai ekspor pertanian menurun.Peran sektor pertanian dari tahun 1980 ke tahun 1990 turun (25% - 20%) = 5%, pada hal jumlah PDB sektor Pertanian naik dari Rp.100 juta pada tahun 1980 menjadi Rp.200 juta pada tahun 1990 (naik 100%).
PDB yang disumbangkan oleh subsektor tanaman per-kebunan rakyat jauh lebih besar daripada PDB tanaman perkebunan besar. Pada setiap tahun PDB dari tanaman perkenunan rakyat tiga kali lipat lebih besar daripada PDB tanaman perkebunan besar. Hal ini selalu terdapat kekeliruan pada masyarakat/mahasiswa, bahwa persepsi mereka hasil tanaman perkebunan besar lebih hebat daripada hasil tanaman perkebunan besar.
Sekali lagi dapat dilihat bahwa peran Perkebunan Rakyat di Indonesia tiga kali lipat lebih besar daripada peran Perkebunan Besar pada periode tahun 1990-1992. Peran sektor pertanian dalam PDB makin lama makin menurun, pada tahun 1990 perannya masih sebesar 21,86%, tetapi pada tahun 2004 tinggal 15,38%.
Menurunnya peran sektor pertanian dalam PDB bukan berarti nilai PDB sektor pertanian juga turun. Atas dasar harga berlaku, jumlah PDB sektor pertanian pada tahun 1990 adalah Rp.50.032 milyar, pada tahun 2004 adalah Rp.354.435 milyar. Menurunnya peran sektor pertanian disebabkan begitu naiknya PDB sektor-sektor lain, terutama sektor industri dan sektor perdagangan/jasa.

BAB 5 Pembangunan Ekonomi Daerah Dan Otonomi Daerah

1. Pembangunan Ekonomi Regional
Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.
Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan.
Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.
Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan;
1. pertumbuhan output
2. pertumbuhan output per pekerja dan,
3. pertumbuhan output perkapita.
Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan .


2. Faktor-faktor penyebab ketimpangan
Ada 2 faktor penyebab ketimpangan pembangunan, faktor pertama adalah karena ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) diantara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan faktor kedua karena strategi pembangunan dalam era PJP I lebih bertumpu pada aspek pertumbuhan (growth).
Sebagian ketidaksetaraan anugerah awal itu bersifat alamiah (natural) atau bahkan ilahiah. Akan tetapi sebagian lagi bersifat structural. Ketidaksetaraan itu berakibat peluang dan harapan untuk berkiprah dalam pembangunan menjadi tidak seimbang.
Ditumpukkannya strategi pembangunan pada aspek petumbuhan, bukanlah tidak beralasan. Secara akademik, baru pertumbuhanlah yang telah memiliki teori-teori yang mantap dalam konsep pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau rancangan pebangunan lebih menyandarkan rencana pembangunannya pada aspek pertumbuhan.

3. Pembangunan Indonesia Bagian Timur
Pembangunan di Indonesia Bagian Timur lebih tertinggal dibandingkan daerah Indonesia bagian lain. Mungkin penyebabnya tanah yang lebih tidak subur dan masalah transportasi. Aku lihat sih daerah yang agak tandus, jalannya lebih cepat rusak, entah karena keadaan tanahnya atau karena suhu udaranya yang lebih panas. Sehingga perjalanan memerlukan waktu tempuh yang lebih lama dan medan yang berat. Aku sering main daerah dekat waduk/bendungan. Daerah yang sulit dijangkau karena jalannya rusak atau jauh, lebih mudah terjangkau dengan adanya transportasi air.


Keuntungannya:
- Proyek yang menarik dan mudah dijual karena akan mendapatkan hasil langsung berupa pohon/hasil hutan sepanjang yang akan dibuat jalan. Akan mendapatkan bahan galian yang bisa berupa bahan tambang yang bernilai tinggi (bisanya daerah tandus kaya akan bahan tambang bernilai tinggi dan batuan mulia/permata)dan atau bahan mineral.
- Peluang bisnis transportasi manusia dan barang (kalau tidak salah transportasi via air termasuk transportasi yang paling murah untuk angkutan barang).
- Bendungan bisa juga dibuat pembangkit listrik tenaga air.
- Bisa menjadi Objek wisata
- Di bendungan bisa dibuat budi daya ikan jaring terapung, sedangkan di jalan air bisa di buat budi daya ikan di keramba.
- Untuk saluran irigasi.
- Meningkatkan kesuburan tanah(biasanya daerah dekat aliran air, tanahnya menjadi lebih subur).
- Bisa juga dirancang untuk mengatasi banjir.
- Bisa juga dirancang untuk mengatasi kebakaran hutan (minimal melokalisasi kebakaran hutan yang terpotong jalan air).
- Transportasi manusia dan barang lebih mudah, murah dan lancar otomatis meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah itu dan antar pulau.
- Akan berkembang aktivitas-aktivitas ekonomi penunjang lainnya yang meningkatkan penghasilan dan menyerap lapangan pekerjaan.
- Mempermudah aparat keamanan untuk menjaga daerah-daerah yang sulit dijangkau lewat darat.

Hal-hal yang harus diperhatikan:

- Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas jalan air
- Debit banjir bila air meluap
- Pemeliharaan jalan air
- Masalah keselamatan pengguna jalan air.


4. Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
Perbedaan karakteristik wilayah berarti perbedaan potensi yang dimiliki, sehingga membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap wilayah. Untuk menunjukkan adanya perbedaan potensi ini maka dibentuklah zona-zona pengembangan ekonomi wilayah.
Zona Pengembangan Ekonomi Daerah adalah pendekatan pengembangan ekonomi daerah dengan membagi habis wilayah sebuah daerah berdasarkan potensi unggulan yang dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri dari dua atau lebih zona dan sebuah zona dapat terdiri dari dua atau lebih cluster. Setiap zona diberi nama sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki, demikian pula pemberian nama untuk setiap cluster, misalnya : Zona Pengembangan Sektor Pertanian yang terdiri dari Cluster Bawang Merah, Cluster Semangka, Cluster Kacang Tanah, dst.
Zona pengembangan ekonomi daerah (ZPED) adalah salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk membangun ekonomi suatu daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Pola pembangunan ekonomi dengan pendekatan Zona Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED), bertujuan:

1. Membangun setiap wilayah sesuai potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya / kompetensi intinya.
2. Menciptakan proses pembangunan ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan.
3. Memberikan peluang pengembangan wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan yang umumnya dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional dewasa ini. Para ahli sangat concern dengan ide pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah berbagai Strategi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED).
Strategi ini terangkum dalam berbagai teori dan analisis yang terkait dengan pembangunan ekonomi lokal. Salah satu analisis yang relevan dengan strategi ini adalah Model Pembangunan Tak Seimbang, yang dikemukakan oleh Hirscman :
“Jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua priode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa pembangunan berjalan dengan baik walaupun sektor berkembang dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan industri-industri lain yang terkait dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut”.
Model pembangunan tak seimbang menolak pemberlakuan sama pada setiap sektor yang mendukung perkembangan ekonomi suatu wilayah. Model pembangunan ini mengharuskan adanya konsentrasi pembangunan pada sektor yang menjadi unggulan (leading sector) sehingga pada akhirnya akan merangsang perkembangan sektor lainnya.
Terdapat pula analisis kompetensi inti (core competiton). Kompetensi inti dapat berupa produk barang atau jasa yang andalan bagi suatu zona/kluster untuk membangun perekonomiannya.
Pengertian kompetensi inti menurut Hamel dan Prahalad (1995) adalah :
“Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis”.
Sedangan menurut Reeve (1995) adalah :
“Aset yang memiliki keunikan yang tinggi, sulit ditiru, keunggulan daya saing ditentukan oleh kemampuan yang unik, sehingga mampu membentuk suatu kompetensi inti”.


5. Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

BAB 4 Kemiskinan & Kesenjangan

1. KONSEP DAN DEFINISI
Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relative, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute. Kemiskian relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Di Negara-negara maju, kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingakt pendapatan rata-rata per kapita. Sebagi suatu ukuran relative, kemiskinan relative dapat berbeda menurut Negara atau periode di suatu Negara. Kemiskinan absolute adalah derajat dari kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak terpenuhi.

2. PERTUMBUHAN, KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
Data 1970 – 1980 menunjukkan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan perkapita, semakin besar perbedaan sikaya dengan simiskin.
Penelitian di Asia Tenggara oleh Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode 1970an dan 198an ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil, tapi sejak awal 1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC’s dan DC’s seperti Indonesia, Thaliland, Inggris dan Swedia.
Janti (1997) menyimpulkan è semakin besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakan publik. Perubahan pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besar saham pendapatan istri dalam jumlah pendapatan keluarga. Hipotesis Kuznetsè ada korelasi positif atau negatif yang panjang antara tingkat pendapatan per kapita dengan tingkat pemerataan distribusi pendapatan.

3. BEBERAPA INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN

 INDIKATOR KESENJANGAN
Ada sejumlah cara untuk mrngukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien gini.
Yang paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.0
Kurva Lorenz, Kumulatif presentase dari populasi, Yang mempunyai pendapatan
Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Ketimpangan dikatakan sangat tinggi apabilai nilai koefisien gini berkisar antara 0,71-1,0. Ketimpangan tinggi dengan nilai koefisien gini 0,5-0,7. Ketimpangan sedang dengan nilai gini antara 0,36-0,49, dan ketimpangan dikatakan rendah dengan koefisien gini antara 0,2-0,35.
Selain alat ukur diatas, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga group : 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan. Sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.

 INDIKATOR KEMISKINAN
Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dengan kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (non food line).
Untuk mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk (1984) yang sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence of proverty : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H. Kedua, the dept of proverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan proverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut yang dapat dijelaskan dengan formula sebagai berikut :
Pa = (1 / n) ∑i [(z - yi) / z]a
Indeks Pa ini sensitif terhadap distribusi jika a >1. Bagian [(z - yi) / z] adalah perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok keluarga miskin (yi) dalam bentuk suatu presentase dari garis kemiskinan. Sedangkan bagian [(z - yi) / z]a adalah presentase eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor, dan kalau dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi (n) maka menghasilkan indeks Pa.
Ketiga, the severity of property yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK. Namun, selain mengukur jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut Distributionally Sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.

4. TEMUAN EMPIRIS

 DISTRIBUSI PENDAPATAN
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distrubusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius, data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya.
Akan tetapi, karena pengumpulan data pendapatan di Indonesia seperti di banyak LCDs lainnya masih relatif sulit, salah satunya karena banyak rumah tangga atau individu yang bekerja di sektor informal atau tidak menentu, maka penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga dianggap sebagai salah satu alternatif.
Menjelang pertengahan tahun 1997, beberapa saat sebelum krisis ekonomi muncul, ingkat pendapatan per kepala di Indonesia sedah melebihi 1000 dolas AS, dan tingkat ini jauh lebih tinggi. Namun, apa artinya kalau hanya 10% saja dari jumlah penduduk di tanah air yang menikmati 90% dari jumlah PN. Sedangkan, sisanya 80% hanya menikmati 10% dari PN. Atau kenaikan PN selama masa itu hanya dinikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan dari kelompok masyarakat yang mewakili 90% dari jumlah penduduk tidak mengalami perbaikan yang berarti.
Boleh dikatakan bahwa baru sejak akhir 1970-an, Pemerintah Indonesia mulai memperlihatkan kesungguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejak itu aspek pemerataan dalam trilogi pembangunan semakin ditekankan dan ini didentifikasikan dalam delapan jalur pemerataan. Sudah banyak program-program dari pemerintah pusat hingga saat ini yang mencerminkan upaya tersebut, seperti program serta kebijkan yang mendukung pembangunan industri kecil, rumah tangga dan koperasi, Program Keluarga Sejahtera, Program KB, UMR, UMP, dan lain sebagainya.

 KEMISKINAN
Di Indonesia, kemiskinan merupakan salah satu masalah besar. Terutama meliahat kenyataan bahwa laju pengurangan jumlah orang miskin di tanah air berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak Pelita I hingga 1997 (sebelum krisis eknomi). Berdasarkan fakta ini selalu muncul pertanyaan, apakah memang laju pertymbuhan yang tingii dapat mengurangi tingkat kemiskinan atau apakahmemang terdapat suatu korelasi negatif yang signifikan antara tingkat pertumbuhan dan presentase jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan?.
Kalau dilihat data dari Asia dalam sstudinya Dealolikar dkk. (2002), kelihatannya memang ada perbedaan dalam presentase perubahan kemiskinan antara kelompok negara dengan leju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kelompoknegara dengan pertumbuhan yang rendah. Seperti China selama tahun 1994-1996 pertumbuhan PDB riil rata-rata per tahun 10,5%, tingkat penurunan kemiskinan per kapita selama periode tersebut sekitar 15,5%, yakni dari 8,4% ke 6,0% dari jumlah populasinya. Sedangkan, misalnya Bangladesh dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun hanya 3,1% selama 1992-1996, tingkat penurunan kemiskinannya per kapita hanya 2,5%. Ada sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah walaupun ekonominya tumbuh positif.[5]
Seperti telah dibahas sebelumnya, banyak studi empiris yang memang membuktikan adanya suatu relasi trade off yang kuat antara laju pertumbuhan pendapatan dan tingkat kemiskinan, namun hubungan negatif tersebut tidak sistematis. Namun, dari beberapa studi empiris yang pernah dilakukan, pendekatan yang digunakan berbeda-beda dan batas kemiskinan yang dipakai beragam pula, sehingga hasil atau gambaran mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan juga berbeda.

5. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN
Faktor yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan:
1. Pertumbuhan
2. Tingkat Pendidikan
3. Struktur Ekonomi

6.KEBIJAKAN ANTIKEMISKINAN

Kebijakan anti kemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting dari lembaga-lembaga dunia, seperti Bank Dunia, ADB,ILO, UNDP, dan lain sebagainya.
Tahun 1990, Bank Dunia lewat laporannya World Developent Report on Proverty mendeklarasikan bahwa suatu peperangan yang berhasil melawan kemiskinan perlu dilakukan secara serentak pada tiga front : (i) pertumbuhan ekonomi yang luas dan padat karya yang menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelompok miskin, (ii) pengembangan SDM (pendidikan, kesehatan, dan gizi), yang memberi mereka kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi, (iii) membuat suatu jaringan pengaman sosial untuk mereka yang diantara penduduk miskin yang sama sekali tidak mamu untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan perkembangan SDM akibat ketidakmampuan fisik dan mental, bencana alam, konflik sosial, dan terisolasi secara fisik.